Senin, 5 Juni 2023

Totok Hedi: Industri Pariwisata Solusi Masalah Kemiskinan Yogyakarta

internal Rabu, 10 Mei 2023 03:49:24 39

YOGYAKARTA – Aktivis Kebudayaan Yogyakarta, Totok Hedi Santosa kembali menyorot akar kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat angka kemiskinan di DIY tinggi.

Pertama, masalah angkatan kerja. Salah satu penyebab kemiskinan di Yogyakarta adalah angkatan muda yang lebih memilih bekerja di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bekasi. Namun, mereka tetap tinggal di Yogyakarta.

“Kenapa kemiskinan masih terjadi di DIY? Di Yogya ini kan tidak ada industri besar yang bisa merekrut sekian banyak tenaga kerja kaum muda,” katanya, dikutip Sabtu (30/4/2023).

Secara sosiologis, banyak anak-anak muda yang menjadi pintar setelah sekolah di Yogya. Tetapi, apakah itu orang Yogya asli atau tidak, setelah mereka lulus, mereka tidak berada di Yogya.

“Lalu yang tertinggal itu siapa, yang tinggal di sini (Yogya), itu rata-rata orang-orang yang bekerja di ASN atau sektor-sektor jasa lainnya. Tetapi, lebih banyak juga yang sekitar 12 persen yang disebut itu, adalah orang-orang tua yang tidak produktif. Kenapa tidak produktif? Karena mereka sudah tua. Ini kenyataannya,” sambungnya.

Masalah yang kedua adalah golongan tua yang tidak produktif. Golongan tua di Yogya, banyak yang tidak produktif karena tidak memiliki cukup tenaga lagi untuk menjadi buruh, maupun penyedia jasa layanan lainnya.

“Jumlah orang tua di Yogya ini cukup banyak. Saya mau cerita kampung saya, misalnya. Kampung saya ini lebih banyak yang tinggal orang tua, karena anak-anaknya pergi, berurbanisasi di daerah perkotaan, dalam hal ini Jakarta atau tempat lainnya. Di Yogya tidak ada yang seperti itu, perputaran uangnya sangat kecil,” jelasnya.

Akibatnya, Yogya tidak menarik bagi kaum muda, karena tidak ada pekerjaan. Masalah selanjutnya dari kaum muda Yogya ini adalah, mereka masih tinggal di Yogya, meski telah bekerja di tempat lain.

“Seperti industri kreatif, lebih banyak anak Yogya. Mereka untuk satu projek pergi ke Jakarta, menyelesaikan industri kreatifnya dan mereka belanja di sana. Ketika dia pulang, kumpul bersama teman-temannya, gak jajan, gak mengeluarkan apapun. Kalau pun jajan, belanjaan yang dia beli dari kota besar tersebut dibawa ke Yogya,” bebernya.

Masalah ketiga adalah tidak adanya industri. Menurutnya, Yogyakarta sudah harus mulai masuk ke sektor industri.

“Cuma industri apa, itu pertanyaannya? Apakah manufaktur? Saya kita tidak masuk akal di Yogya. Kenapa? Karena di Yogya ini sebenarnya sudah punya kekayaan tersendiri. Apa itu? Alamnya begitu kaya, di sisi paling utara gunung, barat juga, selatan laut dan sebagainya. Secara alamiah, Yogya itu bisa dibangun industri wisata,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah harus membuat mendesign industri wisata di Yogya, secara keseluruhan agar angkatan muda Yogyakarta terserap, sehingga mereka tidak lari ke luar Yogya dalam mencari penghidupan.

“Tetapi industri wisatanya yang bentuknya seperti apa? Apakah wisata minat khusus, atau yang lain. Itu dipilih lokasi-lokasi itu sedemikian rupa, tentu dengan pemasaran yang signifikan,” sambungnya.

Menurut data, kata dia, tahun-tahun ini wisata domestik lebih banyak dari Bali. Menurutnya, ada yang istimewa, sehingga orang mau berwisata ke Bali dan berlama-lama tinggal di sana. Hal ini lah yang menjadi masalah di Yogyakarta, karena industri wisatanya masih belum terbentuk dan akan menjadi pekerjaan rumah besar.

“Jangan-jangan, wisata di Yogya banyak, tapi hanya lewat. Sehingga tidak membawa dampak ekonomi,” jelasnya.

Persoalan industri ini tidak bisa diselesaikan oleh warga Yogya sendiri. Menurutnya, pemerintah harus mengambil peran dalam membangun industri wisata di Yogyakarta. Sehingga, perekonomian warga terangkat dan angka kemiskinan menjadi turun. Menurutnya, industri wisata adalah kunci mengenaskan kemiskinan di Yogya.

Komentar

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait